Surat Terbuka untuk Remaja Muslim Indonesia
No: 05/PN/08/08 Jakarta, 10 Agustus 2008
Wahai Sahabat, Kekasih Allah..
Kita sekarang hidup dalam “kampung kecil” dunia global. Batas-batas imajiner antar negara saat ini semakin tidak kita rasakan lagi. Apakah engkau merasakan bahwa “kampung kecil” kita saat ini begitu getol mengajak kita melupakan bahwa kita ini adalah hamba Allah?
Karena ajakan yang getol itu banyak sahabat-sahabat kita tidak lagi merasa berdosa ketika melakukan perbuatan yang dilarang Allah kekasih kita. Pernahkan kalian tahu bahwa Penelitian Objectively Verifiable Indicators (OVI) SeBAYA Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jatim 2004 menunjukkan hasil bahwa para responden usia 15-24 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual dengan satu orang atau lebih, yakni sebanyak 49 orang dari 360 responden? Sejak Januari-Nopember 2004, tercatat 227 remaja yang melakukan konsultasi, 90 diantaranya telah melakukan seks bebas dan delapan orang positif hamil? Sedihkah engkau ketika tahu bahwa mereka melakukan itu tanpa merasa bersalah kepada kekasih kita Allah?
Harusnya kita selalu sadar bahwa Allah yang telah menciptakan kita, yang telah memberikan kehidupan kepada kita. Kita mampu bergerak karena Allah yang memberi kita jiwa. Kita mampu berpikir, bernafas,melihat,mendengar,dan meraba karena Allah memberikan kita kemampuan itu. Maka sudah sepantasnyalah kita hidup untuk melakukan yang terbaik menurut pencipta kita, pemberi kehidupan kita. Kita rasanya tidak punya keberanian untuk menentangnya, karena jiwa kita ada dalam genggamanNya.
Wahai Sahabat, Kekasih Allah..
”Kampung kecil” kita saat ini mengarahkan kita jadi pekerja-pekerja murah untuk mengolah kekayaan alam kita yang berlimpah ruah demi memperkaya para penjajah. Tahukah engkau emas kita dikuasai pengusaha Freeport. Sembilan puluh persen kekayaan minyak dan gas kita dikuasai oleh penjajah yang lain? Lihatlah di sekitar kita. Fenomena keterpurukan. Fenomena kesedihan. Semakin banyak mereka yang putus sekolah. Semakin banyak mereka yang harus berjuang di jalan menjadi pengamen, pemulung. Kenapa bisa terjadi kalau negara ini sebenarnya kaya? Apakah kita akan membiarkan kondisi ini terus berlanjut?
Wahai Sahabat, Kekasih Allah
Engkaulah remaja, pemuda harapan umat. Engkaulah bagian dari umat terbaik yang Allah turunkan ke tengah manusia. Di tanganmu perubahan itu bisa diwujudkan. Ditanganmu kemaslahatan manusia dipertaruhkan. Kembalikan kekayaan yang telah Allah anugerahkan ke tangan umat, untuk kesejahteraan umat. Rebut kembali kekayaan itu dari tangan penjajah!
Wahai Sahabat, Kekasih Allah
Umat telah memanggilmu! Umat telah memanggilmu! Umat menaruh harapan besar di pundakmu. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada dirimu untuk terus berbuat, untuk terus bergerak untuk menjadi pemuda tangguh. Pemuda berkepribadian Islam. Bersama-sama dengan pemuda muslim lain, menyusun barisan rapi, menghadirkan solusi Islam, menegakkan kembali peradaban Islam. Menghilangkan pengaruh peradaban kapitalisme yang rendah di dunia, sehingga hidup manusia akan menuju kembali ke kehidupan yang cemerlang.
JURUBICARA MUSLIMAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Febrianti Abassuni
HP. 08129049930
Senin, September 29, 2008
Rabu, September 24, 2008
Komentar Terhadap Debat Prokontra Pornografi
menarik jika kita cermati argumen-argumen yang di lontarkan oleh pengasong liberalisme dan permisivisme di indonesia bahkan juga mungkin di luar negeri. mereka mengklaim jika seandainya RUU pornografi di sahkan maka hal itu kan menjadi belenggu bagi kreativitas negeri ini yang merupakan multi kultural.ada sebagian dari masyarakat indonesia ini yang masih mengenakan pakaian yang tradisional dan tetntu saja masih terbuka bagian-bagian tubuhnya. seperti contoh adalah pakaian adat khas jawa yang mengenakan kemben , pakaian khas papua yang mengenakan koteka dan rumbai-rumbai dari tumbuhan. itu, menurut mereka ini salah satu kekayaan bangsa indonesia yang mesti dilestarikan.
perlu kita perjelas disini, bahwa mereka yang mengenakan pakaian yang seperti itu adalah masyarakat pedalaman yang kurang begitu mengenal dunia modern. sehinggga mereka terkucilkan dari pergaulan dunia luar, pengetahuan akan perkembangan budaya masih minim sehingga mereka terpaksa mengenakan pakian khas mereka. sudah menjadi keharusan bagi kita selaku orang yang mungkin sudah tahu tentang perkembangan budaya, sepantasnyalah mengajak mereka kepada dunia yang lebih sopan dan berperadaban.
kaum liberalis juga berpendapat jika RUU ini disahkan jadi UU akan megekang kreatifitas seni .
dalam hal ini, perlu juga kita perjelas tentang apa itu seni. seni terkait dengan keindahan. baik itu karya seni mutlak atau seni relatif. bagi mereka kaum liberal, karya seni itu bisa sesuatu yang mengundang naluri sexual manusia. karena dalam pandangan kaum liberal yang berasaskan nilai manfaat, sesuatu dianggap berharga apabila hal tersebut memiliki nilai manfaat(jual). faktanya masyarakat sekarang ini yang memang menganut sebagian pandangan sekulerisme, masih menyukai hal-hal berbau syahwat.
keadaan ini di ciptakan oleh mereka sendiri, agar produk haram mereka laku di masyarakat. pandangan seperti ini yaitu pandangan sekulerisme sangat merusak. merusak nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat dan agama. sesuatu dinggap baik jika hal itu bisa dimanfaatkan.contohnya ya pornografi itu,karena banyak kalangan masyarakat yang mengkonsumsinya dari mulai anak-anak polos hingga orang tua bangka maka pornografi yang merupakan sumber kebejatan moral tetap di bela -bela.
sudah selayaknyalah kita semua kemabali kepada ajaran suci Islam yang memanusiakan manusia.dan penggunaan sistem sekulersime terbukti telah menyengsarakan kita semua.Wallahu alam bissowab
Andrianto
Aktivis LDK STIK BP Banjar
perlu kita perjelas disini, bahwa mereka yang mengenakan pakaian yang seperti itu adalah masyarakat pedalaman yang kurang begitu mengenal dunia modern. sehinggga mereka terkucilkan dari pergaulan dunia luar, pengetahuan akan perkembangan budaya masih minim sehingga mereka terpaksa mengenakan pakian khas mereka. sudah menjadi keharusan bagi kita selaku orang yang mungkin sudah tahu tentang perkembangan budaya, sepantasnyalah mengajak mereka kepada dunia yang lebih sopan dan berperadaban.
kaum liberalis juga berpendapat jika RUU ini disahkan jadi UU akan megekang kreatifitas seni .
dalam hal ini, perlu juga kita perjelas tentang apa itu seni. seni terkait dengan keindahan. baik itu karya seni mutlak atau seni relatif. bagi mereka kaum liberal, karya seni itu bisa sesuatu yang mengundang naluri sexual manusia. karena dalam pandangan kaum liberal yang berasaskan nilai manfaat, sesuatu dianggap berharga apabila hal tersebut memiliki nilai manfaat(jual). faktanya masyarakat sekarang ini yang memang menganut sebagian pandangan sekulerisme, masih menyukai hal-hal berbau syahwat.
keadaan ini di ciptakan oleh mereka sendiri, agar produk haram mereka laku di masyarakat. pandangan seperti ini yaitu pandangan sekulerisme sangat merusak. merusak nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat dan agama. sesuatu dinggap baik jika hal itu bisa dimanfaatkan.contohnya ya pornografi itu,karena banyak kalangan masyarakat yang mengkonsumsinya dari mulai anak-anak polos hingga orang tua bangka maka pornografi yang merupakan sumber kebejatan moral tetap di bela -bela.
sudah selayaknyalah kita semua kemabali kepada ajaran suci Islam yang memanusiakan manusia.dan penggunaan sistem sekulersime terbukti telah menyengsarakan kita semua.Wallahu alam bissowab
Andrianto
Aktivis LDK STIK BP Banjar
Kamis, September 11, 2008
Ilmu dan Kebahagiaan
Ilmu dan Kebahagiaan
Ditulis Oleh Adian Husaini
Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!”
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
”Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”
”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...”
”Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...”
”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka, bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Maka, setelah dia dapat, dia menjadi pecinta harta. Toh, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Hidupnya penuh porblema. Masalah demi masalah membelitnya. Tak jarang, harta justru membawa bencana. Kadang, harta yang ditumpuk-tumpuk, menjadi ajang konflik antar saudara.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Di depan sorot kamera, tampak mempelai begitu bahagia, bersanding wanita cantik. Namun, kecantikan sering menjadi fitnah dan kemudian membawa bencana. Pujian yang bertabur dari umat manusia tak membuatnya bahagia.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan, setelah kuasa di tangan. Sebelum memegang kuasa, senyuman sering menghiasai bibirnya. Namun, setelah kuasa di dalam genggaman, kesulitan dan keresahan justru menerpanya, tanpa henti.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain...
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang!
Jika demikian, apakah yang disebut”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus, yang selalu berusaha mendorong batu ke atas bukit. Tapi, ketika batu sudah sampai di atas bukit, digelindingkannya kembali batu itu ke bawah. Kemudian, dia dorong lagi, batu itu ke atas. Begitu seterusnya. Tiada pernah berhenti.
Itulah perumpamaan tentang kondisi batin masyarakat Barat yang menganut paham relativisme dan tidak mengenal kebenaran pada satu titik tertentu. Ketika sampai pada satu tahap tertentu, dia kembali menghancurkan dan mencari lagi. Mereka selalu dalam pencarian. Tidak akan pernah puas. Laksana meminum air laut. Jika sudah mendapatkan satu gunung emas, mereka akan mencari lagi gunung emas yang kedua.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampong halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:
ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;
Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa ”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam.” Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat.
Karena itu, kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan adalah harta yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Iqbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Karena itu, kata penyair besar Pakistan ini, hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, lebih buruk dari suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacam itu; hidup dalam keyakinan; mulai dengan mengenal Allah dan ridha menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita ingin, bahwa kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Mudah-mudahan, Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin. [Depok, 6 Rabi’ulawwal 1429 H/14 Maret 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Ditulis Oleh Adian Husaini
Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!”
Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
”Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”
”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...”
”Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...”
”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka, bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Maka, setelah dia dapat, dia menjadi pecinta harta. Toh, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Hidupnya penuh porblema. Masalah demi masalah membelitnya. Tak jarang, harta justru membawa bencana. Kadang, harta yang ditumpuk-tumpuk, menjadi ajang konflik antar saudara.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Di depan sorot kamera, tampak mempelai begitu bahagia, bersanding wanita cantik. Namun, kecantikan sering menjadi fitnah dan kemudian membawa bencana. Pujian yang bertabur dari umat manusia tak membuatnya bahagia.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan, setelah kuasa di tangan. Sebelum memegang kuasa, senyuman sering menghiasai bibirnya. Namun, setelah kuasa di dalam genggaman, kesulitan dan keresahan justru menerpanya, tanpa henti.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain...
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang!
Jika demikian, apakah yang disebut”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus, yang selalu berusaha mendorong batu ke atas bukit. Tapi, ketika batu sudah sampai di atas bukit, digelindingkannya kembali batu itu ke bawah. Kemudian, dia dorong lagi, batu itu ke atas. Begitu seterusnya. Tiada pernah berhenti.
Itulah perumpamaan tentang kondisi batin masyarakat Barat yang menganut paham relativisme dan tidak mengenal kebenaran pada satu titik tertentu. Ketika sampai pada satu tahap tertentu, dia kembali menghancurkan dan mencari lagi. Mereka selalu dalam pencarian. Tidak akan pernah puas. Laksana meminum air laut. Jika sudah mendapatkan satu gunung emas, mereka akan mencari lagi gunung emas yang kedua.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampong halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:
ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد
(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;
Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.
Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa ”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam.” Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.
Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat.
Karena itu, kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan adalah harta yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Iqbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Karena itu, kata penyair besar Pakistan ini, hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, lebih buruk dari suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacam itu; hidup dalam keyakinan; mulai dengan mengenal Allah dan ridha menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita ingin, bahwa kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Mudah-mudahan, Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin. [Depok, 6 Rabi’ulawwal 1429 H/14 Maret 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Minggu, September 07, 2008
Mutiara Ummat Islam
Dunia Barat dan Penguasa Muslim Harus Malu terkait Kasus Dr. Aafia Siddiqui
Thursday, 04 September 2008 10:47
Syabab.Com - Kasus Dr. Aafia Siddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.
Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar Doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berwarganegara Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah dijemput dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian dalam negeri Paksistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.
Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepoliisian Afghanistan di propinsi Ghazni menyatakan di bulan Juli 2008 bahwa Dr Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekang disekap di penjara di Brooklyn, New York– Dr Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.
Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afghanistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 650′ di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara, sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.
Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.
Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afghan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.
Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS bahwa selama diinterogasi di Afganistan, Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Namun ada banyak ketidacocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa diantaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afghan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.
Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”
Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab– Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap penculikannya? Kenapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara? Kenapa dia diekstradiksi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.
Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Maka nampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekedar alat yang digunakan pemerintah Barat — yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja– demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Maka sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi abad pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan nampak di dalam perilaku mereka sendiri? Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?
Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.
Pengkhianatan para penguasa muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.
Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, air mata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil untuk kehilangan ibunya –satu diantaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa muslim tidak akan pernah terlupakan.
Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin genting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita umat telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila terjadi, akan membuka era baru yang menghantarkan dunia kepada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.
Anak-anak perempuan Umat ini sedang menunggu untuk memba’iat seorang Khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah diantara mereka– seorang Khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari Umat ini untuk membebaskan wanita muslim dari penjara penindasan– pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita muslim yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka namun ia masih mampu untuk menundukkannya.
Maka, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, sebarkan seruan kita, dan berikan segala daya upaya untuk mengembalikan keberadaan negara Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:
“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka.” [TQS An-Nuur (24): 55]
Dr. Nazreen Nawaz
Perwakilan Media Perempuan – Hizb ut-Tahrir Inggris
Thursday, 04 September 2008 10:47
Syabab.Com - Kasus Dr. Aafia Siddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.
Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar Doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berwarganegara Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah dijemput dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian dalam negeri Paksistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.
Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepoliisian Afghanistan di propinsi Ghazni menyatakan di bulan Juli 2008 bahwa Dr Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekang disekap di penjara di Brooklyn, New York– Dr Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.
Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afghanistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 650′ di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara, sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.
Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.
Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afghan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.
Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS bahwa selama diinterogasi di Afganistan, Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Namun ada banyak ketidacocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa diantaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afghan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.
Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”
Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab– Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap penculikannya? Kenapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara? Kenapa dia diekstradiksi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.
Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Maka nampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekedar alat yang digunakan pemerintah Barat — yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja– demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Maka sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi abad pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan nampak di dalam perilaku mereka sendiri? Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?
Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.
Pengkhianatan para penguasa muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.
Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, air mata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil untuk kehilangan ibunya –satu diantaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa muslim tidak akan pernah terlupakan.
Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin genting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita umat telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila terjadi, akan membuka era baru yang menghantarkan dunia kepada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.
Anak-anak perempuan Umat ini sedang menunggu untuk memba’iat seorang Khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah diantara mereka– seorang Khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari Umat ini untuk membebaskan wanita muslim dari penjara penindasan– pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita muslim yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka namun ia masih mampu untuk menundukkannya.
Maka, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, sebarkan seruan kita, dan berikan segala daya upaya untuk mengembalikan keberadaan negara Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:
“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka.” [TQS An-Nuur (24): 55]
Dr. Nazreen Nawaz
Perwakilan Media Perempuan – Hizb ut-Tahrir Inggris
Langganan:
Postingan (Atom)